Karya Nabila Putri Zainur Kelas 9d MTsN 1 Tana Toraja

Aku terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarga yang harmonis, namun sepi. Ayah dan ibu selalu tenggelam dalam kesibukan pekerjaan mereka, meninggalkan rumah dalam kesunyian. Tak ada perdebatan hangat antarsaudara, tak ada gelak tawa yang memenuhi ruangan – hanya keheningan yang setia menemani. Di tengah malam, sering kudengar langkah kaki ayah yang baru pulang dari kantor, atau suara lembut ibu yang masih berkutat dengan laptop di ruang kerjanya.
Masa kecilku dihabiskan dengan bermain sendirian di kamar yang dipenuhi mainan. Orang tuaku selalu memastikan aku memiliki segala yang kubutuhkan secara materi, tapi ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh boneka atau video game. Seperti pulau terpencil di tengah lautan, aku tumbuh tanpa tempat berbagi. Tak ada telinga yang siap mendengar keluh kesahku, tak ada bahu untuk bersandar. Hidupku bagai kapal tanpa kompas, mengambang tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Di sekolah, aku termasuk murid yang pendiam. Bukan karena aku tak ingin berteman, tapi karena aku tak tahu bagaimana caranya membuka diri. Ketika teman-teman bercerita tentang keseruan bermain dengan saudara mereka di rumah, aku hanya bisa tersenyum dan mendengarkan. Kadang aku iri melihat mereka yang pulang sekolah dijemput kakak atau adiknya, sementara aku selalu diantar-jemput sopir keluarga dalam kesunyian.
Hingga suatu hari di tahun kedua SMA, takdir mempertemukanku dengan Azizah. Dia murid pindahan yang duduk di sebelahku. Gadis yang cerdas dengan kepribadian yang hangat. Yang membuatku terkesan bukanlah hanya paras cantiknya, melainkan kesabarannya mendengarkan setiap ceritaku. Kehadirannya bagaikan oase di tengah padang pasir kehidupanku yang gersang.
Awalnya, kami hanya mengobrol tentang pelajaran dan tugas sekolah. Tapi perlahan, Azizah mulai mengajakku keluar dari zona nyamanku. Dia mengajarkanku bahwa hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kesendirian. Setiap akhir pekan, dia mengajakku ke perpustakaan kota, mengeksplor kafe-kafe tersembunyi, atau sekadar duduk di taman sambil membaca buku. Yang paling kusukai adalah ketika dia mengajakku ke rumahnya.
Keluarga Azizah sangat berbeda dengan keluargaku. Rumah mereka tidak sebesar rumahku, tapi selalu dipenuhi kehangatan. Ibunya sering membuatkan kami kue, sambil bercerita tentang resep turun-temurun keluarga mereka. Ayahnya, meski lelah setelah mengajar di sekolah, selalu menyempatkan diri bergabung untuk makan malam bersama. Kakak dan adik Azizah sering bertengkar kecil, tapi di balik itu semua, aku bisa melihat kasih sayang yang tulus di antara mereka.
Azizah bukan sekadar teman – dia menjadi pelabuhan bagi jiwaku yang lelah berkelana. Bersamanya, aku menemukan rasa memiliki yang selama ini kurindukan. Dia mengajarkanku bahwa tertawa itu menyenangkan, bahwa menangis itu tidak apa-apa, dan bahwa berbagi perasaan tidak membuat kita lemah. Meski bayangan kesepian masih kadang menghantuiku, kehadiran Azizah memberiku kekuatan untuk menghadapinya.
Suatu malam, ketika kami sedang belajar bersama di kamarku, aku memberanikan diri menceritakan semua yang kurasakan selama ini. Tentang kesepian yang mencekik, tentang keinginanku memiliki saudara, tentang rasa iriku melihat kehangatan keluarganya. Azizah mendengarkan dengan seksama, lalu memelukku erat ketika air mataku jatuh. “Mulai sekarang, anggap saja aku saudarimu,” katanya lembut.
Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Azizah sering menginap di rumahku, membuat kamarku yang sepi menjadi hidup dengan cerita dan tawanya. Dia bahkan mulai mengajak orang tuaku berbicara lebih banyak. Perlahan tapi pasti, rumahku yang sunyi mulai terisi dengan kehangatan baru. Orang tuaku, yang mungkin mulai menyadari kesepianku selama ini, juga mulai meluangkan lebih banyak waktu di rumah.
Perlahan tapi pasti, aku belajar bahwa kebahagiaan tak selalu harus datang dari ikatan darah. Persahabatan kami tumbuh layaknya pohon yang mengakar kuat, saling menopang di setiap musim. Azizah mengajarkanku bahwa keluarga bisa hadir dalam berbagai bentuk, dan terkadang sahabat bisa menjadi keluarga yang kita pilih sendiri.
Sekarang, di tahun terakhir SMA, aku bisa tersenyum melihat perjalananku. Dari gadis pemalu yang kesepian, menjadi seseorang yang bisa menghargai kesunyian sekaligus menikmati keramaian. Kesunyian rumah tak lagi terasa mencekam. Aku telah menemukan tempat untuk pulang dalam persahabatan yang tulus – tempat di mana aku bisa menjadi diriku seutuhnya, tanpa takut dihakimi.
Bersama Azizah, aku belajar bahwa hidup tak selalu tentang apa yang tidak kita miliki, tapi tentang mensyukuri apa dan siapa yang hadir dalam hidup kita. Mungkin aku tetap anak tunggal, tapi kini aku memiliki seorang saudari dalam sosok sahabat terbaik. Dan itu lebih dari cukup untuk mengisi kekosongan yang pernah ada. (By Tim Humas Osim)