Petualangan Matematika Eksploratif Berbasis Kearifan Lokal…
Amiruddin, S.Pd
Kokok ayam jantan membangunkan Marangka. Dia mengucek mata, meregangkan badan yang masih kaku. Sinar matahari yang hangat menembus celah-celah dinding kayu Tongkonan, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di lantai kamarnya. Dari kejauhan terdengar suara gembala membawa kerbau ke padang rumput.
"Marangka! Bangun, sudah siang!" teriak Indo' dari lantai bawah.
"Iye, Indo'!" Marangka menguap lebar, mengumpulkan nyawa yang masih setengah melayang. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai kayu yang dingin, membuatnya sedikit tersentak.
Aroma khas menggelitik hidungnya begitu ia menuruni tangga kayu yang berderit-derit. Bau kopi tubruk Ambe' bercampur dengan wangi pa'piong yang mengepul dari dapur membuat perutnya keroncongan. Ditambah aroma kayu cendana dari dinding-dinding tua Tongkonan, pagi itu terasa sempurna.
"Makan dulu," Indo' meletakkan sepiring nasi dengan kuah pa'piong. Daging yang dimasak dalam bambu itu mengepul, menggoda selera. Indo' masih memakai daster kusut dan rambutnya diikat asal-asalan - tanda dia sudah sibuk di dapur sejak subuh.
Tapi ada yang aneh. Ambe' yang biasanya cerewet saat sarapan hanya diam, mengaduk-aduk kopi yang mulai dingin. Matanya menerawang jauh ke arah ukiran-ukiran tua di dinding Tongkonan.
"Ambe' kenapa?" tanya Marangka sambil menyuap nasi. Sebutir nasi jatuh ke pangkuannya.
Ambe' menghela napas panjang. Keriput di sudut matanya tampak lebih dalam pagi ini. "Tadi malam... Ambe' mimpi ketemu Nene'mu."
Sendok di tangan Marangka berhenti di udara. Indo' yang sedang menuang kopi pun menoleh kaget, hampir menumpahkan kopi ke meja. Setahun lebih sejak Nene' meninggal, baru kali ini Ambe' memimpikannya.
"Dalam mimpi itu," Ambe' menelan ludah, suaranya sedikit bergetar, "Nene' bilang ada sesuatu penting di balik ukiran-ukiran Tongkonan kita. Tapi..." Ambe' tersenyum tipis, "cuma bisa dipecahkan pakai ilmu hitung."
***
Sepanjang jalan ke madrasah, Marangka terus memikirkan kata-kata Ambe'. Kakinya melangkah melewati deretan Tongkonan yang berbaris angkuh. Ada yang masih kokoh, ada yang sudah miring dimakan usia. Beberapa nenek tua duduk di beranda, menganyam tikar sambil bergosip dalam bahasa Toraja yang kental.
Di MTsN 1 Tana Toraja, pelajaran pertama adalah Matematika. Bu Ratna masuk kelas dengan jilbab merah marun dan tas kulit cokelat yang sudah mengelupas di pinggirannya. Rambutnya yang beruban sedikit menyembul di bagian depan jilbab.
"Anak-anak," Bu Ratna memulai sambil menulis di papan dengan kapur yang sudah pendek, "hari ini kita belajar tentang pola bilangan. Tau nggak? Nenek moyang kita dulu sudah pakai matematika dalam kehidupan sehari-hari. Coba lihat ukiran-ukiran Tongkonan..."
Jantung Marangka berdegup kencang. Tangannya yang berkeringat mulai mencoret-coret buku, menggambar pola ukiran yang ada di rumahnya: Pa'tedong yang gagah, Pa'barre Allo yang bersinar, Pa'manuk Londong yang anggun.
Sepulang sekolah, Marangka memberanikan diri masuk ke perpustakaan daerah. Bangunan tua itu sepi, hanya ada Pak Rahim yang duduk sambil mengipasi diri dengan koran bekas. Kipas angin tua di sudut ruangan berputar malas, mendengung seperti lebah marah.
"Cari apa, Ngka?" tanya Pak Rahim ramah. Giginya yang ompong membuat senyumnya khas.
"Buku tentang ukiran Toraja, Pak," jawab Marangka sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Oh, coba di rak pojok sana. Tapi hati-hati, bukunya tua semua."
Debu menyerang hidung Marangka begitu ia membuka buku pertama. Bersin-bersin, dia terus mencari sampai matanya mulai pedih. Tapi usahanya tidak sia-sia. Di halaman yang sudah menguning, ia menemukan petunjuk tentang pola ukiran.
"Magrib, Ngka!" Pak Rahim mengingatkan. Di kejauhan, azan berkumandang merdu.
"Iye, Pak! Makasih!" Marangka buru-buru membereskan bukunya. Matahari sudah condong ke barat, mewarnai langit Toraja dengan semburat jingga.
Setiba di rumah, tanpa mengganti seragam yang sudah kusut dan berbau keringat, Marangka langsung mengambil meteran dari laci Ambe'. Dengan teliti ia mengukur setiap jengkal ukiran, mencatat setiap detail di buku tulisnya yang sudah lecek.
"Subhanallah..." gumamnya. Pola itu mulai terlihat:
Pa'tedong berulang setiap 8 bagian
Pa'barre Allo muncul setiap 5 bagian
Pa'manuk Londong hadir setiap 3 bagian
"Marangka!" Suara Indo' mengagetkannya. "Magrib! Sudah azan dari tadi!"
"Sebentar, Indo'!"
"Tidak ada sebentar-sebentar! Ayo wudhu!"
Dengan berat hati Marangka meletakkan catatannya. Wudhu, shalat, lalu makan malam dengan ikan bakar dan sambal rica-rica pedas buatan Indo'. Setelah shalat Isya, dia menceritakan temuannya pada Ambe' dan Indo'.
"Di bagian ke-120, ketiga motif itu ketemu, Ambe'," jelasnya bersemangat sambil mengunyah pisang goreng yang masih panas. "Ada pola aneh di situ."
Malam itu Marangka susah tidur. Otaknya terus bekerja, sementara di luar jangkrik bernyanyi bersahutan dengan burung hantu. Dalam tidurnya yang gelisah, ia bermimpi bertemu Nene'.
"Matematika itu bahasa Allah, Cu," kata Nene' dalam mimpi. "Seperti Al-Qur'an, tersembunyi hikmah di dalamnya."
Keesokan harinya, sepulang sekolah, dengan senter LED pemberian Ambe' dan tangga lipat dari gudang, Marangka memeriksa ukiran di bagian ke-120. Debu kayu membuatnya bersin berkali-kali.
Dan di sanalah dia menemukannya - sebuah segitiga sama sisi tersembunyi! Dengan tangan gemetar, ia mengukur sudut-sudutnya. Di setiap sudut ada ukiran kecil: 18, 24, dan 36.
"Masya Allah..." bisiknya. "Ini semua kelipatan 6! Jumlahnya 78!"
Tiba-tiba ia teringat cerita Ambe' tentang tiang utama Tongkonan yang selalu menghadap utara. Dengan semangat menggebu, ia berlari ke bawah.
"Ambe'! Indo'!" teriaknya, membuat Indo' yang sedang melipat mukena terlonjak.
"Astaghfirullah! Bikin kaget saja!" Indo' mengelus dada.
"Maaf, Indo'. Tapi... kayaknya aku nemuin sesuatu!"
Selepas Ashar, mereka bertiga menghitung 78 langkah dari tiang utama sesuai arah segitiga dalam ukiran. Langkah terakhir berhenti di sebuah batu besar yang tampak biasa saja.
"Tunggu," Ambe' membersihkan lumut di sisi batu. "Ada ukiran Pa'tedong di sini."
Dengan bantuan Ambe', mereka menggeser batu itu. Di bawahnya, tersembunyi sebuah peti kayu berukir indah. Ambe' membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya ada gulungan lontar yang dibungkus kain tenun khas Toraja.
Air mata Ambe' menetes saat membaca isinya. "Innalillah... ini wasiat leluhur kita. Ada panduan lengkap ritual adat, filosofi ukiran, bahkan doa-doa berbahasa Arab untuk membangun Tongkonan."
"Tapi kenapa disembunyikan?" tanya Marangka.
Indo' mengelus pundak Marangka dengan lembut. "Dulu waktu zaman perang, banyak warisan adat yang hancur, Nak. Leluhur kita menyembunyikan ini supaya ajaran dan kearifan kita tidak hilang."
Marangka mengangguk paham. Allah telah memberinya petunjuk melalui ilmu hitung untuk menemukan warisan berharga ini. Seperti kata ustadz di madrasah: ilmu itu cahaya.
Penemuan itu mengubah banyak hal. Naskah kuno tersebut menjadi panduan dalam persiapan Rambu Solo' Nene'. Setiap ukiran kini punya makna mendalam bagi Marangka. Di sekolah, dia bahkan mulai berbagi pengetahuan, menunjukkan pada teman-temannya bagaimana matematika, Islam, dan adat Toraja adalah bukti kebesaran Allah.
Suatu malam, sambil duduk di beranda Tongkonan mendengarkan azan Isya, Marangka memandang langit berbintang. Dia bersyukur Allah telah memilihnya menjadi bagian dari pelestarian warisan ini.
"Ya Allah," doanya dalam hati, "semoga generasi setelah kami juga bisa menemukan keajaiban-keajaiban yang Engkau simpan dalam warisan leluhur."
Malam itu, dalam mimpinya, Marangka melihat Nene' tersenyum bangga, berdiri di depan Tongkonan dengan ukiran-ukirannya yang menyimpan sejuta rahasia
Selesai…
“Di dinding Tongkonan tergurat kenangan, terukir harapan”